tuhan menyapaku ketika rona merah
diujung barat memberi isyarat
saat daun-daun jatuh diatas diaryku
gemetar jemari
dan pena pun tak kuasa menari
dalam rasa di palung gundah
aku merontah
mengapung di merah marun langit
sebongkah karang menembus mega-mega
membentur-benturkan diri di dinding cakrawala hati
mengumpat-umpat dalam kulum mulut tertutup
pena bertinta biru tua
diary warna tanah
secawan kopi hitam kecoklatan
saling diam di atas meja yang bertumpuk-tumpuk rasa mendosa
tuhan tak bosan menungguhi renungku yang bisu
sementara langit barat terus merapat
mengganti warna dengan sedikit gelap pucat
rasa ini semakin menjadi
disaat akal mulai nanar
segunung bukit dosa terbayang
dengan apa kira aku minta ampun
malu bagai air bah di kisah Nuh
gambaran tak bersua namun nyata
di ujung senja yang semakin merapat
pinjamkan tongkat Musa kepadaku Allah
akan ku pukul-pukul sendiri dadaku yang angkuh ini
agar samudra kesombongan ku menjadi cuil kepingan
tuhan:
dalam tetesan airmata tak berair ini
menunduk aku di depanMu
berserah seluruh alam kecilku
tangan yang senantiasa menggenggam bara neraka
kaki yang selalu tamak melangkah
benak yang sedetik tak pernah lepas dari dengki
serta sejasad yang mengandung aniaya dan maksiat belaka
tuhan memanggilku sudah,
- dari bilik-bilik rumahNya
sang bilal menuntun telingaku yang tuli untuk tak sekedar mendengar
dilangit;
puluhan bangau pulang sarang dengan makna hati yang berbunga
sementara daun warna tua mulai berkurang menjatuhkan diri atas titah
karena bayu pun mulai tenang melirihkan tembangnya
gulita malam bersiap dengan sejuta mimpi-mimpi
dan aku pun mengikat akal yang picik pada salip-salip
kata kecil pun berucap sudah....
-tuhan.....ampuni aku.
antok walet ireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar